Nicolaas Jouwe (87 tahun), salah seorang tokoh senior OPM, kini sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Saat berkunjung ke Port Moresby, PNG, pada 5 – 17 Maret 2010, Nicolaas Jouwe melakukan sejumlah ceramah di muka para tokoh masyarakat Papua dan pengurus IGSSARPRI, mengenai latar-belakangnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, yang isinya sebagai berikut.

Menurut Jouwe, di dunia ini ada dua bangsa yang dijajah begitu lama oleh bangsa lain, yaitu Bangsa Israel yang diperbudak Bangsa Mesir selama 400 tahun, dan Bangsa Indonesia, termasuk orang Papua oleh Bangsa Belanda selama 350 tahun. Penjajahan bertentangan dengan prinsip-prinsip humanitas, keadilan dan perdamain. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di dunia telah bangkit dan berjuang untuk menghapuskan penjajahan dari muka bumi

Saat Indonesia memperoleh kemerdekaannya, Belanda masih menguasai Papua. AS menekan keras Belanda untuk segera mengakhiri kekuasaan di Papua. Namun agar Belanda tidak kehilangan muka dalam percaturan internasional, sebagai Bangsa Kulit Putih yang telah menginjak-injak prinsip-prinsip humanitas, keadilan dan perdamaian di Indonesia selama 350 tahun, maka diadakanlah perundingan antara Indonesia-Belanda yang difasilitasi oleh PBB, dan menghasilan New York Agreement pada 15 Agustus 1962.

Saat itu Belanda telah berkuasa di Papua selama 12 tahun, maka dicarilah kesepakatan agar Indonesia dapat berkuasa di Papua selama kurun waktu yang sama, hingga Bangsa Papua menentukan pilihannya apakah tetap ingin bergabung dengan Indonesia atau merdeka sendiri.

Itulah sebabnya pada 1969 diselenggarakan Pepera di Papua. Indonesia dan Belanda diberi hak untuk memilih dua negara sahabatnya untuk menjadi saksi pelaksanaan Pepera tersebut dan melaporkan hasilnya kepada Sidang Umum PBB. Belanda memilih Belgia dan Luxemburg. Indonesia memilih Malaysia dan Philipina. Akhirnya ke-6 negara tersebut sepakat melaporkan kepada Sidang Umum PBB bahwa Pepera telah dilaksanakan sebagaimana mestinya pada 19 Nopember 1969. Selanjutnya Sidang Umum PBB ke-24 memutuskan Papua menjadi bagian integral dari Indonesia.

Dirinya (Nicolaas Jouwe) adalah orang yang direkrut dan dididik ilmu ketata-negaraan oleh pemerintah kolonial Belanda agar mampu mempersiapkan kemerdekaan Papua dari NKRI. Dalam kaitan ini, dirinya telah menulis Manifesto Kemerdekaan Papua, membuat Undang-undang Dasar Papua, memilih lagu berjudul “Hai Tanahku Papua,” karangan IS Keyne, sebagai lagu kebangsaan Papua, dan membentuk kekuatan di dalam dan di luar negeri Indonesia untuk melawan pemerintah RI.

Namun ketika dirinya bertemu dengan Presiden AS, John F Kennedy untuk meminta bantuan bagi kemerdekaan Papua, Kennedy mengatakan “Tuan Jouwe, pulanglah ke tanah air-mu di Papua, kumpulkan rakyatmu, dan hiduplah berdampingan secara damai dengan Bangsa Indonesia, karena Bangsa Indonesia bukan penjajah, tetapi Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di muka bumi ini yang telah mengusir dan mematahkan kekuatan kolonialisme untuk pertama kalinya dan untuk selamanya.”

Ketika terjadinya perang Vietnam, dengan memanfaatkan semangat AS untuk memerangi komunisme, dirinya sekali lagi menemui Presiden AS (Ronald Reagan) untuk maksud yang sama, namun seperti halnya Kennedy, Reagan juga menolak dengan mengatakan “Mr. Nicolaas, your country’s future already been decided, West Papua is an integral part of the Republic of Indonesia.”

Selain itu, dirinya juga telah mengunjungi banyak negara dan bertemu dengan banyak kepala negara di wilayah Afrika, Amerika, Amerika Latin, Eropa dan Asia untuk mencari dukungan bagi kemerdekaan Papua, namun jawabannya sama, yaitu Papua adalah bagian dari Indonesia. Rasanya dirinya sudah melakukan segala upaya untuk mencari dukungan internasional bagi kemerdekaan Papua, namun selalu gagal.

Akhirnya dirinya berpendapat bahwa Tuhan memang telah memutuskan kemerdekaan Papua bersama dengan Indonesia, yang telah dipersatukan karena persamaan nasib, yaitu sama-sama dijajah Belanda, meskipun berbeda ras, dan dirinya memutuskan kembali ke Indonesia ketika adanya tawaran yang arif dari Presiden SBY untuk kembali ke Indonesia melalui IGSSARPRI.

Kebijakan SBY itu menunjukan bahwa tingkat penegakkan demokrasi dan HAM di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya, yang masih melarang para tokoh separatis kembali ke tanah airnya, apalagi memberikan kekuasaan bergerak, seperti yang diberikan pemerintah Indonesia kepada dirinya. Bahkan Gubernur Papua Bas Suebu sedang mempersiapkan sebuah rumah bagi dirinya di kota kelahirannya, Jayapura.

Kini saatnya perjuangan putra-putri Papua diarahkan pada upaya memperbaiki kondisi di Papua agar menjadi lebih baik. Uang telah begitu banyak dikucurkan pemerintah Indonesia untuk membangun Papua, namun pembangunan di Papua masih berjalan lambat.

Dirinya menghimbau agar jangan pernah percaya pada orang atau sekelompok orang yang biasanya dalam bentuk NGO, yang melontarkan janji-janji manis (lips service), untuk yang mengatas-namakan Papua demi mencari keuntungan atau kepentingan tertentu, karena yang sudah-sudah hanya mereka yang dapat untung, dan orang Papua hanya dimanfaatkan dan dibohongi.