oleh : Franzalbert Joku
Ketua Independent Group Supporting Autonomous Region of Papua Within Republic of Indonesia
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, beberapa pihak mempertanyakan kemajuan apa yang berhasil dicapai pemerintah daerah dan masyarakat Papua melalui Otsus. Dihadapkan pada pertanyaan bernada skeptis seperti itu, kita harus memahami bahwa tidak mungkin dalam beberapa tahun mengevaluasi efektifitas dari sistem yang baru. Apalagi, pemberlakuan Otsus di Papua diberi waktu dua puluh lima tahun. Berarti terdapat kurun waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi.
Apabila ada sementara pihak yang masih mempersoalkan masalah Otsus, hal itu dapat dipahami karena baru akhir tahun 1990-an bangsa Indonesia dibebaskan dari satu sistem pemerintahan yang selama ini menggenggam dan mengekang bangsa Indonesia, termasuk juga di Papua. Baru akhir 1990-an sampai awal 2000-an dibuka kebebasan ruang untuk berekspresi sehingga penerapan sistem pemerintahan baru di Papua yang bernama Otsus ini wajar-wajar saja menarik komentar pro dan kontra.
Oleh karena itu, jika ada kelompok masyarakat yang mengatakan Otsus itu gagal dan harus ditolak, harus dilihat bersama, aspek mana yang dikatakan gagal. Dari sisi perundang-undangan, Otsus itu sendiri sudah merupakan suatu langkah yang sangat maju. Dari sebelumnya tidak ada, sekarang menjadi ada. Dulu hanya pernyataan politik oleh Presiden Soekarno, kemudian juga oleh Presiden Soeharto, tentang spesial otonomi untuk Papua dan sebagainya. Sekarang ini dengan adanya Otsus di Papua yang ditetapkan melalui UU merupakan langkah maju yang sangat luar biasa. Dilihat dari sisi politik, aspirasi masyarakat Papua sudah diinstitusikan lewat UU tersebut dan saat ini sedang diterapkan oleh pemerintah daerah, baik di Papua maupun Papua Barat (Irian Jaya Barat).
Hal itu tidak berarti bahwa Otsus tidak perlu dikritisi lagi. Sebagai sebuah kebijakan, selalu ada kemungkinan kelemahan, terutama menyangkut penerapannya. Misalkan, apakah terjadi mismanagement dalam pelaksanaan program kerja pemda, apakah ada kesalahan dalam pengelolaan keuangannya, atau apakah pemimpin dan aparat daerah tidak memiliki ketrampilan atau ketulusan hati untuk melakukan ini sebagai sesuatu wujud nyata pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah Papua? Semua permasalahan itu harus dibuka dan dicari solusinya bersama-sama.
Secara politik, otonomi khusus adalah kompromi politik antara pusat dengan masyarakat Papua yang sebagian dari mereka menuntut merdeka, lepas dari NKRI. Sebagai sebuah kompromi politik, semua pihak harus bertanggung jawab untuk memelihara kompromi besar ini dengan bijaksana. Jangan sampai karena kepentingan sesaat, karena kuatir kehilangan jabatan dan pengaruh, atau karena maksud-maksud yang tidak jujur, terus mengatakan bahwa Otsus ini tidak bekerja, harus ditolak, dan sebagainya. Satu hal yang perlu kita yakini adalah bahwa Otsus di Papua merupakan solusi final dari konflik politik yang sudah sekian puluh tahun lamanya hadir di tengah masyarakat Papua.
Sering penulis katakan kepada sesama orang Papua bahwa yang terhampar di atas meja sekarang ini adalah otonomi khusus. Energi masyarakat Papua jangan lagi hanya tercurah pada perdebatan-perdebatan politik menyangkut Papua, karena itu justru akan semakin membuat masyarakat Papua tertinggal. Boleh dikatakan, Otsus merupakan tonggak penting dari seluruh rangkaian peristiwa yang mengantar rakyat Papua menjadi bagian integral dari wilayah bekas jajahan Hindia Belanda yang bernama Republik Indonesia yang menyatakan kedaulatannya dengan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, Belanda dengan segala macam upaya berusaha memisahkan Papua dari RI yang baru terbentuk. Padahal, pada tanggal 24 Agustus 1828, Papua secara resmi lewat Deklarasi Gubernur Hindia Belanda di Batavia, sudah menyatakan Papua masuk menjadi bagian integral Hindia Belanda. Upaya integrasi baru membuahkan hasil setelah 18 tahun proklamasi, melalui New York Agreement 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Selama ini, argumentasi-argumentasi yang sering dibangun sebagai landasan masyarakat Papua untuk menuntut merdeka adalah penilaian bahwa New York Agreement dan Pepera tidak diselenggarakan secara adil. New York Agreement dinilai tidak adil karena tidak melibatkan orang Papua. Sedangkan Pepera dianggap tidak adil karena hanya menghadirkan 1.026 orang, satu sakit sehingga menjadi 1.025 orang. Selain mempermasalahkan New York Agreement dan Pepera, hal lain yang juga sering dijadikan dasar argumen adalah pelanggaran HAM berat di Papua selama bertahun-tahun serta kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat Papua dibanding saudara sebangsa.
Hingga akhirnya, pada tahun 2000 terselenggara Kongres Papua II dimana salah satu butir yang dihasilkannya adalah menuntut untuk keluar dari NKRI. Tuntutan lepas dari NKRI dibangun berdasarkan argumentasi di atas. Merespon hasil kongres tersebut, pemerintah pusat kemudian menawarkan kompromi politik bernama Otonomi Khusus (Otsus). Kompromi ini kemudian dituangkan dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang disahkan pada tahun 2001. Sejak saat itu, political platform yang menjadi pijakan dalam pembangunan Papua adalah Otonomi Khusus. New York Agreement dan Pepera hanya menjadi catatan sejarah belaka. Apalagi—terlepas waktu itu terdapat kelemahan-kelemahan—New York Agreement dan Pepera merupakan dokumen politik yang diakui keabsahannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan masalah pelanggaran HAM dan kesenjangan pusat dan daerah, harus jujur dilihat bahwa permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Papua saja tetapi juga di banyak daerah di Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena permasalahan tersebut terkait dengan pendekatan dan perilaku rezim pemerintahan di masa lalu.
Berdasarkan pemaparan tersebut, argumentasi-argumentasi untuk menuntut Papua keluar dari NKRI sudah tidak lagi memiliki relevansi historis. Di tingkat global saat ini pun, kecenderungan yang terjadi bukanlah memisahkan, tetapi menyatukan potensi dalam rangka menghadapi kehidupan dunia yang makin kompetitif. Ambil contoh, Uni Eropa yang sudah mulai menyatukan kekuatan ekonomi mereka melalui penyatuan mata uang; Euro. Kita patut berbangga karena pemimpin-pemimpin di tanah Papua bisa mendukung “Uni Indonesia”, sementara bangsa-bangsa di Eropa—yang lebih maju dan kita pikir pandai—malah belajar dari kita. Untuk itu, saatnya sekarang memelihara kompromi dan kepercayaan lebih besar yang diberikan pemerintah pusat semaksimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan rakyat Papua.
Memang masih ada beberapa orang Papua yang berpikir untuk tetap memisahkan diri. Padahal, wacana pemisahan diri itu muncul pasca-Perang Dunia II. Negara-negara terjajah seperti: India, Indonesia, Malaysia ramai-ramai menyatakan kemerdekaannya dan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga melibatkan diri dengan program dekolonisasi supaya negara-negara jajahan yang lain dapat merdeka, seperti: negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan lain-lain.
Tapi di masa-masa sekarang ini, wacana pemisahan diri seperti itu sudah semakin jarang. Di koridor Perserikatan Bangsa-Bangsa saja kata-kata itu sepertinya sudah hilang dari vocabulary politik dunia. Yang ada sekarang adalah: global warming, terrorisme, bagaimana mengatasi HIV/AIDS, bagaimana memerangi kelaparan, kemiskinan, dan sebagainya. Jika masih ada yang memperjuangkan wacana merdeka atau memisahkan diri, maka mereka betul-betul ketinggalan kereta. Fakta bahwa wacana merdeka sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi sekarang ini harus dihadapi dan diterima. Berarti orang Papua harus meningkatkan kemampuannya agar dapat menempatkan kepentingan orang Papua itu dalam konteks Indonesia terkini dan terdepan, yaitu perubahan global yang begitu besarnya. Jika tidak, rakyat Papua bukan saja ketinggalan tapi betul-betul tertinggal dalam banyak hal.
Memang benar bahwa mengubah pola pikir orang itu tidak semudah membalik telapak tangan, terutama di kalangan aktifis yang menginginkan Papua merdeka. Persepsi mereka sudah terbentuk bertahun-tahun. Yang dia pikir ketika mau tidur, bangun, makan, adalah bagaimana melepaskan diri dari NKRI. Suatu tugas yang berat dan penuh dedikasi untuk meyakinkan teman-teman se-Papua bahwa Otsus merupakan jalan politik baru yang rasional dan realistis dalam mencapai kemajuan di tanah Papua. Secara substansial, Otsus telah memberikan “kemerdekaan” bagi rakyat Papua untuk mengelola potensi yang dimiliki guna membangun masa depan Papua yang lebih baik dan lebih bermartabat. Pemahaman ini sepertinya sudah mulai bisa diterima. Tokoh senior Organisasi Papua Merdeka yang lama tinggal di Papua New Guinea, Nicolaas Jouwe, memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk selamanya pada November tahun lalu. Hampir 400 orang yang ada Papua New Guinea juga menginginkan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Dalam kerangka rekonsiliasi, banyak orang yang mengusulkan tentang perlunya dialog antara masyarakat Papua dengan pemerintah pusat. Usulan tersebut sebenarnya bagus, meskipun sedikit menimbulkan kekhawatiran. Istilah “dialog” itu sendiri mengandung muatan dan penafsiran politik yang beragam. Terlebih, pemahaman masyarakat internasional terhadap terminologi dialog dapat berarti bahwa pemerintah Indonesia mau berdialog, seolah-olah Papua dengan Indonesia itu merupakan entitas politik yang setara. Istilah “dialog” lebih berkonotasi adanya suatu penyelesaian perselisihan dengan agenda yang terbuka, termasuk: issu merdeka. Akan lebih baik dan lebih produktif jika diadakan semacam evaluasi nasional tentang Otonomi Khusus Papua. Berbagai permasalahan dapat langsung dibicarakan dan lebih solutif ke sasaran. Sedangkan bila dialog, 1001 agenda bisa masuk.
Di masa yang akan datang perlu dipikirkan agar masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia dapat membuat semacam tulisan atau resolusi bahwa konflik Papua dan semua permasalahan yang berkaitan dengan konflik politik Papua dari zaman penjajahan sampai sekarang sudah selesai. Resolusi ini diharapkan akan memperteguh kesatuan (unity) dan kesalingpercayaan (trust) rakyat Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia.